4 Golongan yang Tertipu Meski Mereka Ahli Ibadah dan Berilmu

4 Golongan yang Tertipu Meski Mereka Ahli Ibadah dan Berilmu

30 Maret 2023

ilustrasi

Dejurnalis.com-Tak semua hamba bisa lepas dari godaan dan tipu daya setan. Beratnya cobaan tersebut juga bisa menipu ahli ilmu (alim) dan para ahli ibadah (abid). 

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, menjelaskan ada empat kategori orang yang tertipu. Pertama, orang yang mempelajari ilmu agama dan ilmu lain, tetapi ia tidak mengamalkan ilmunya. Ilmu tidak mendekatkan dirinya kepada Allah, menjauhkannya dari yang haram, dan membentuknya berakhlak mulia.

Ilmu yang dimiliki orang tersebut tidak berharga karena tidak membuahkan amalan yang baik. Pemilik ilmu ini termasuk orang pertama dan paling berat mendapat azab Allah di akhirat.


Nabi bersabda, ''Orang yang paling berat mendapat azab Allah adalah orang yang alim (berilmu), tetapi Allah tidak memberikan manfaat kepadanya melalui ilmunya. Ia salah seorang dari tiga golongan orang yang dikabarkan Nabi yang pertama merasakan azab api neraka.'' (Al-Hadis).

Kedua, orang yang banyak beribadah dan berupaya memberatkan diri melakukan amalan lahir, seperti memperbanyak shalat sunat dan puasa sunat. Namun, ia mengabaikan penelitian terhadap hati dan menyucikan hatinya dari berbagai penyakit batiniah, seperti iri, dengki, riya, dan sombong. 

Penyakit batiniah bukan hanya membuat amalnya tidak bernilai, melainkan juga merusak dirinya. Padahal, Islam ingin mewujudkan keseimbangan antara amalan lahir dan batin, ibadah yang banyak dan berkualitas serta kesucian hati. Nabi bersabda, ''Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupamu dan harta yang kamu miliki, tetapi Ia melihat kepada hati dan amalmu.'' (Al-Hadis).

Ketiga, orang yang beribadah kepada Allah dengan penuh kehati-hatian, tetapi sikapnya tersebut sampai pada batas menyulitkan dirinya. Sikap hati-hati memang dianjurkan Islam, tetapi tidak boleh sampai menyulitkan.

Sebab, Allah menginginkan kemudahan kepada umatnya dalam pelaksanaan Islam, seperti firman-Nya, ''Allah menginginkan kemudahan kepadamu, dan Ia tidak menginginkan kesulitan terhadapmu.'' (QS 2: 185). 

Kehati-hatian yang berlebihan tampak pada orang yang dihinggapi rasa waswas oleh godaan setan ketika berwudhu. Orang itu berkumur-kumur berulang kali dan menggosok dengan keras ketika air wudhu mengenai kulitnya. 

Orang yang berwudhu seperti ini tertipu oleh amalnya karena Islam tidak menuntut seperti itu. Yang penting basuhan air wudhu cukup apabila telah membasahi anggota wudhu.

Alangkah baik kehati-hatian yang berlebihan ketika berwudhu dipakai dalam mencari rezeki halal. Dalam Islam mencari rezeki halal mempunyai kedudukan yang penting. Menggunakan rezeki halal untuk dikonsumsi turut menentukan keberkahan hidup Muslim.

Dan, pengabulan doa hamba oleh Allah terkait erat dengan rezeki yang dikonsumsinya. Nabi bersabda, ''Seorang laki-laki yang telah jauh perjalanannya, berambut kusut, penuh dengan debu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, 'Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,' sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram, serta dikenyangkan dengan barang haram, maka bagaimana akan dikabulkan permintaannya (doanya).'' (HR Muslim).

Keempat, orang yang merasa sudah benar dan tidak mau menerima nasehat. Orang tersebut merasa dirinya sudah mencapai puncak kebenaran dan kesempurnaan, sehingga menolak segala bentuk nasehat dan kritik.

Padahal, Islam mengajarkan pentingnya sikap rendah hati dan terbuka terhadap kritik dan nasehat dari orang lain. Bahkan, Allah berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 6, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.''

Dalam Islam, sikap merasa sudah benar dan menolak nasehat termasuk sikap sombong, yang sangat diharamkan. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat atom kadar sombong.'' (HR Muslim).


Referensi:

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya’ Ulumiddin. Dar al-Fikr. 2003.
Shahih Muslim. Terj. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin. Dar al-Wafa. 2005.
Al-Qur'an al-Karim. Terj. Departemen Agama RI. 2009.